Sitoingcantik's Blog

Archive for the ‘ME & MY THOUGHTS’ Category

Siapa yang nggak pernah sakit ?  Namanya manusia, pasti pernah mengalami sakit, baik itu sakit fisik ataupun sakit non fisik.  Dulu kalau mengalami sakit fisik, bawaannya udah pengen maraaah aja. Semua jadi serba salah.

Dulu saya sering migrain.  Kalau udah kumat, bawaannya udah uring – uringan aja. Kerjaan semua serba salah.  Orang lain salah sedikit aja bisa bikin saya meledak.

Lalu juga suka sariawan, entah karena panas dalam atau karena kegigit / kepentok sesuatu.  Bawaannya bete aja, apalagi kalau sariawannya banyak dan gede – gede.  Udah ga bisa makan, minum aja susah …. Sengsara banget.

Apalagi kalau flu yang sampai nggak bisa nafas.  Nggak bisa tidur …. Duh ampun deh …. Miring kiri salah, kanan salah, rebah nggak bisa, duduk pegel, mau makan juga nggak selera.  Sengsara poll ….

Itu baru sakit fisik. Gimana kalau sakit non-fisik ? Zaman masih muda, saya merasa kuat, punya bekal iman yang cukup, jadi rasanya gak mungkin disakiti yang sampai bikin termehek – mehek, kalau istilah sinetronnya.  Dalam pergaulan, rasanya fine – fine aja, hampir nggak pernah punya musuh; sementara teman dan sahabat baik – baik semua.  Dalam keluarga, sejauh ini juga hubungan dengan saudara baik kandung maupun sepupu semua baik – baik aja.  Dalam percintaan, hmmm hampir nggak pernah disakiti yang sampai gimanaaaa gitu rasanya.  Dan dalam lingkup karierpun, rasanya semua juga berjalan biasa – biasa saja.  Pertengkaran dengan rekan kerja, dengan pimpinan,  masih dalam batas normal yang tidak membuat saya merasa sakiiiiit ……

Tapi bukan berarti saya nggak pernah sakit non fisik.  Sakit yang pertama kali saya rasakan adalah ketika harus merelakan mami kembali ke pangkuan Bapa.  Ketika mami di diagnose kanker paru-paru,  rasanya saya nggak sempat bersedih, karena seketika itu juga saya, mami dan papi berburu pengobatan kesana kemari, karena mami nggak mau di chemotherapy.  Heboh itu cuma berlangsung selama 6 bulan, karena secepat itu juga mami dipanggil Tuhan. Disitu baru saya merasa sakit dan marah. Rasanya nggak terima, saya baru kuliah tingkat 1, harus mengambil alih semua tugas mama mengurus rumah.  Tapi toh saya nggak berlama – lama tenggelam dalam kondisi itu. Saya harus segera pulih, karena merasa punya tanggung jawab meneruskan hidup dan keluarga ini.  Life goes on.

Lalu yang kedua, ketika papi juga dipanggil Bapa 10 tahun kemudian.  Tapi inipun nggak lebih sakit dari waktu mama meninggal.  Pertama memang saya kurang begitu dekat dengan papa.  Bukan berarti saya nggak sayang papa, tapi ya hubungan kami memang nggak akrab. Baru saat – saat terakhir dia sakit, kita jadi lebih dekat.  Jadi periode ini pemulihan saya jauh lebih cepat. Apalagi saya sudah menikah dan punya anak sehingga kesibukan dalam keluarga membuat saya cepat melupakan rasa sedih dan sakit yang muncul.

Waktu terus berjalan, hidup saya didominasi oleh berbagai permasalahan keluarga.  Jatuh bangun, kecewa dengan suami, kesal dengan tingkah laku anak – anak, well ….. masih bisa dibawa nyanyi “sakitnya tuh disini …..di dalam hatiku ……”.  Kalau masih bisa nyanyi, artinya toh nggak sakit – sakit amat lah ….

Tapi ternyata sakit non-fisik yang paling parah saya alami, baru beberapa waktu lalu dan saat ini pun ternyata masih dalam taraf penyembuhan.  Koq pake ‘ternyata’ ?   Ya, karena ketika permasalahan ini terjadi, saya malah nggak merasakan, tapi orang – orang sekeliling, teman – teman terdekat, semua ribut melihat badan saya yang makin kurus, raut muka yang suram, kadang seperti orang linglung, pelupa.  Kalau saya bercanda, kata teman – teman bercandanya garing, nggak seperti saya biasanya.  Kata mereka, saya lagi galau. Mmmm …. galau tu apa sih ?  Begitupun, saya masih nggak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi.  Karena saya merasa menjalani hidup biasa – biasa saja. Saya nggak menyadari kalau berat badan saya turun sampai 4 kg. (Catet : Resep diet paling jitu itu adalah galau, percaya deh!).

Tanpa perlu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, saya cuma mau bilang, sakit non – fisik ternyata bisa berakibat lebih parah daripada sakit fisik.  Kenapa ? Karena sakit non – fisik yang berupa perasaan marah, dilecehkan, diabaikan, sungguh bisa merusak dan menghancurkan tubuh jasmani dan rohani kita.  Apalagi ditambah dengan penyangkalan (denial) dari dalam diri sendiri :

 “saya baik – baik aja koq, saya nggak apa – apa”

“I’m fine, I’m okay …. Nothing happened to me…” 

“If I hurt, then it was my fault….” 

“wah, kenapa ya dia gitu, gara -gara saya gini ya ? wah, saya salah ya?”

yang justru membuat kehancuran itu makin dahsyat.  Karena seperti luka yang pada permukaan kulitnya sudah kering, mulus dan bersih, tetapi dibawah permukaan kulit itu boroknya terus menggerogot kedalam hingga mencapai syaraf.

Beruntung saya memiliki 2 orang sahabat, yang juga rohaniwan,  yang mampu menyadarkan saya.  Bahwa kalau saya terus memelihara dan tidak mencungkil kulit luar untuk membersihkan borok didalam, saya akan mati.  Ya, mati secara rohani karena borok itu infeksi, dan akan meracuni hati saya.  Mencungkil kulit yang sudah mulus memang malesin banget, sudah pasti sakit …. dan memang sakit !!  Tapi harus dilakukan.  Dan memang akhirnya saya lakukan.  Damn, sakit banget !!!  Menyadari dan mengatakan pada diri sendiri ‘ya saya terluka’ jauh lebih menyakitkan daripada menyangkalnya.  Dan proses itu masih harus dilanjutkan dengan satu tahap lagi, yaitu mengampuni orang, siapapun dia, yang telah menyakiti itu tanpa kecuali.  Maksudnya ? Ya, mengampuni saja, dengan tulus …. tanpa perlu lagi membela diri dengan ‘tapi kan ….’,  tanpa  berharap ada permintaan maaf dari yang melakukan.  Gampang ? Nggak, gila !! Susah banget !! Apalagi kalau membayangkan atau melihat orang yang bersangkutan seperti nggak ada beban, nggak ada rasa bersalah ….. ‘tapi kan ….’ Itu pasti muncul lagi.  Dan proses mengampuni ini ternyata jauh lebih susah daripada mencungkil kulit dan membersihkan borok ……

Tapi puji Tuhan, sekali lagi saya berterimakasih sekali dengan 2 orang sahabat rohaniwan saya, yang terus memberi semangat dan dukungan disertai doa, tanpa menyalahkan siapapun sampai akhirnya saya mampu mengatasi semua itu.  Saat ini, mudah-mudahan borok itu sudah bersih, karena kulit yang dicungkil, juga lukanya sudah merapat lagi.  Mudah – mudahan borok itu tidak jadi infeksi lagi.

Well, usahakan selalu jaga kesehatan, baik itu kesehatan fisik maupun non – fisik.  Tapi yang terutama kesehatan non fisik, alias rohani.  Karena kalau sampai sakit, jauh lebih membahayakan daripada sakit fisik yang dokternya ada dimana – mana.  Believe me, sakit non-fisik itu  “sakitnya tuuuuuh …..disiniiiiih ….. daleem banget …..”

 

Early February 2016

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini kurang enak didengar, namun anak kami ternyata menerimanya dengan senang hati.

Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji “Superman cilik” di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak nomor 23 di keluarga kami tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam hatinya sampai matanya bersinar-sinar. Kemudian ketika dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya dengan hati pilu kepada anak kami: Anakku, kenapa kamu tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa? Anak kami menjawab: Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian luar biasa. Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.

Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.

Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari dan bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang-bintang. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.

Sepulangnya ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah? Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi belajar untuknya. Anak kami juga sangat penurut, dia tidak membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu juga tidak dilakukan lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan tanpa henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat kurus banyak. Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja nomor 23.

Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku semakin pucat saja. Apalagi, setiap kali akan ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi menarik bibit ke atas demi membantunya tumbuh ini. Dia kembali pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah “Humor anak-anak” dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan nilai sekolahnya.

Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek. Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan gembira. Dia sering kali lari ke belakang untuk menjaga bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat agak miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap jus sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.

Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggeris. Kedua anak ini secara bersamaan menjepit sebuah kue beras ketan di atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau membaginya. Walau banyak makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.

Ketika pulang, jalanan macat dan anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku terus membuat guyonan dan membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio masing-masing. Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul senyum bangga.

Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan nama anakku. Alasannya sangat banyak: antusias membantu orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris. Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja. Dia memberi pujian: Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu.

Saya berguyon pada anakku, kamu sudah mau jadi pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Dia pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau jadi pahlawan, aku ingin jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama.  Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat seketika. Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini.

Di dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini. Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.

Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman kerja yang suka membantu, tetangga yang ramah dan baik. Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas? Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi? Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?

Source : Unknown

Anakmu bukan milikmu.

Mereka putra putri sang Hidup yang rindu pada diri sendiri,


Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,


Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.


Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,

Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.


Patut kau berikan rumah untuk raganya,


Tapi tidak untuk jiwanya,


Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,

yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi.


Kau boleh berusaha menyerupai mereka,


Namun jangan membuat mereka menyerupaimu


Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,


Pun tidak tenggelam di masa lampau.


Kaulah busur, dan anak-anakmulah
 Anak panah yang meluncur.


Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.


Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,


Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.


Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,


Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat


Sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.


(Kahlil Gibran)

Ketika sedang mandi kemarin sore, mendadak lampu kamar mandi mati.  Gelap gulita seketika menyergap.  Otomatis terlintas rasa takut.  Well, bukan takut, tapi kuatir dan panik, lebih tepatnya.  Aku bukan orng yang penakut akan gelap atau setan dan sejenisnya.  Tetapi ketika tiba-tiba disergap kegelapan total seperti itu, rasanya wajar jika spontan timbul rasa kuatir dan panik.  Kuatir menjatuhkan botol shampoo, kuatir tersenggol botol sabun, kuatir tersandung atau terpeleset ……..

Tetapi didalam kepanikan itu, sambil tetap terguyur air pancuran, saya coba pejamkan mata, dan menenangkan diri.  Dan ketika sudah lebih tenang, saya membuka mata, eh ternyata sudah tidak segelap tadi.  Rupanya ada secercah sinar yang masuk melalui celah pintu.  Meskipun keciiiiil sekali celahnya, tetapi mataku mulai beradaptasi dan memanfaatkan cahaya yang sangat redup disepanjang pintu.  Ternyata lumayan, pelan-pelan saya mulai ‘melihat’ botol shampoo dan tempat sabun, juga keran untuk mematikan pancuran.  Bagaimanapun, aku sebetulnya sudah tau juga letak peralatan itu semua, kan ?

Setelah mengeringkan tubuh dan berpakaian, saya duduk untuk beristirahat,minum kopi sejenak sambil memikirkan kejadian tadi.

Dalam kehidupan, kita juga seringkali dihadapkan pada situasi yang tiba-tiba menjadi ‘gelap’.  Suami diberhentikan dari pekerjaan, anak terlibat pergaulan yang tidak baik, istri berselingkuh …. wah …. Rasanya dunia runtuh dan kita terpuruk pada lubang yang sangat dalam dan gelap.  Sepertinya tidak ada harapan lagi.

Tetapi apabila kita mencoba untuk tenang dan tidak panik, pasti kita akan bisa menemukan secercah cahaya yang disediakan Tuhan untuk kita.  Selalu pasti ada.  Kuncinya adalah TENANG.  Jika kita tenang, maka kita akan bisa melihat ‘secercah cahaya’ didalam kegelapan itu.  Dan ketika kita sudah beradaptasi dengan kegelapan dan cahaya samar-samar itu, kita akan bisa mulai berpikir dan menata, apa yang harus kita lakukan didalam kegelapan itu.

Pertama, memahami situasi yang sedang dihadapi.  Gelap, ya … memang gelap.  Tetapi gelap bukanlah suatu keadaan mutlak, karena gelap hanyalah situasi ketiadaan cahaya yang tidak bisa diukur dan tidak bersifat tetap.  Jadi yang harus dilakukan adalah berusaha meng’ada’ kan cahaya kembali.  Betapapun suramnya, dengan secercah saja cahaya, maka kegelapan akan lenyap.  Bukankah dengan penerangan sebatang korek api saja, maka suatu keadaan tidak lagi bisa dikatakan gelap ?

Kedua, ketika situasi sudah dipahami, dan sudah nampak secercah cahaya, betapapun redupnya, maka kita sudah bisa melakukan sesuatu, sekalipun masih sambil meraba-raba. Paling tidak, kita sudah bisa mengenali ‘medan’ disekitar kita.  Maka tentukan, apa langkah selanjutnya. Apakah mulai melangkah, meraih alat bantu, mencari pintu keluar ? Terserah ……. Tapi kita sudah mulai bisa melakukan sesuatu. Dan lakukanlah !

Ketiga, ketika sesuatu sudah dilakukan, maka interaksi sudah terjadi.  Dan langkah kehidupan sudah kembali berjalan.  Apapun hasilnya, kegelapan sudah bukan lagi menjadi masalah.  Jalanilah !

Maka jangan pernah menjadikan kegelapan sebagai momok dalam kehidupan.  Karena kegelapan tidak pernah abadi.

Malabar, 5 Oktober 2010

Si Toing

Dalam suatu kesempatan, Innayah, putri bungsu Gus Dur bercerita, temannya pernah mengajarkan untuk ikhlas dengan perumpamaan demikian : jika telepon genggam kita sedang rusak, lalu kita dipinjamkan telepon genggam oleh teman untuk jangka waktu 1 minggu, kita senang.  Ketika 1 minggu lewat, kita pasti akan mengembalikan telepon genggam itu disertai ucapan ‘terimakasih’ dan senyum.  Tetapi kenapa ketika kita menghadapi kematian seseorang yang dekat dengan kita, kita harus menangisi dan tidak merelakannya dengan ikhlas ? Padahal ‘kehidupan’ manusia ini kan juga cuma dipinjamkan oleh Allah ?

Ketika temannya mengatakan demikian, Innayah protes, ‘Gila kamu, mana mungkin semudah itu mengikhlaskan orang yang kita sayangi?” Tetapi ketika sang ayah, Gus Dur wafat, Innayah baru memahami maksud dari cerita sang teman.

Orang tua, anak, istri, suami, adik, kakak, sahabat, semuanya hanya dipinjamkan oleh Yang Maha Kuasa untuk memperkaya hidup kita dengan berbagai pengalaman, kenangan, dan terutama pelajaran untuk mendewasakan pribadi kita.  Jadi ketika Allah meminta kembali sesuatu atau seseorang yang dipinjamkannya, kenapa kita tidak mau mengikhlaskannya dan berterima kasih pada Nya ?

Kadang-kadang kita baru menyadari bahwa kita sudah mendapatkan pelajaran berharga, justru ketika kita mengalami suatu kehilangan. Ketika seseorang / sesuatu yang kita sayangi masih ada di depan mata kita, kita menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah pantas dan sewajarnya.

Keberadaan orangtua yang sudah sepuh, bahkan seringkali oleh sebagian orang dianggap sebagai beban yang merepotkan.  Anak yang nakal berlebihan, hiperaktif, seringkali dianggap merepotkan dan setiap hari dimarahi.  Pasangan hidup yang (dianggap) cerewet, atau sebaliknya (dianggap) kurang perhatian, kerap diabaikan dan berbalik mencari perhatian dari orang lain diluar sana yang mau memberi perhatian, sekalipun semu.

Namun ketika orang tua yang sepuh, anak yang hiperaktif, pasangan hidup yang cerewet itu ‘diambil’ dan lenyap dari keseharian kita, barulah kita merasakan kehilangan.  Saat itu barulah kita menyadari betapa sesuatu yang diambil itu sesungguhnya, betapapun merepotkan dan menyebalkan,  tetap punya arti bagi kehidupan kita.  Dan ketika kesadaran itu hadir, kita tidak mampu merelakan dan mengikhlaskan kehilangan tersebut.

Seringkali kita mendengar ucapan-ucapan seperti ini :

‘seandainya aku diberi kesempatan 1x lagi, aku akan membahagiakannya’,

‘aku belum sempat membahagiakan dia’,

‘kalau saja aku tahu dia akan pergi secepat ini ………’

Semua itu sudah tidak ada gunanya lagi ketika kehilangan sudah terjadi.  Maka mari kita hargai apapun yang sudah kita miliki saat ini.  Ya, saat ini.  Bukan yang kemarin, bukan yang besok.  Karena semuanya itu hanyalah dipinjamkan oleh Tuhan untuk jangka waktu yang tidak kita ketahui. Setiap saat Ia menghendaki ‘pinjaman’ Nya kembali, kita tidak aka mampu menghalangi atau menahannya lagi.  Siapkah kita mengikhlaskannya dan berterimakasih untuk kesempatan yang telah Dia berikan?

Malabar, 17 February 2010

Apa yang ada dipikiran anda ketika andak diminta untuk “mendengarkan” ?

Mendengarkan adalah sebuah kata kerja.

Jadi mendengarkan adalah suatu bentuk kegiatan aktif yang membutuhkan energi.

Sayangnya bahasa Indonesia tidak membedakan antara ‘mendengarkan’ dengan ‘mendengarkan’ yang dalam bahasa Inggris dibedakan antara ‘hearing’ dan ‘listening’.

Mendengarkan yang dalam bahasa Inggrisnya ‘hearing’ – dari kata dasar ‘hear’ (= dengar) merupakan suatu kegiatan yang bisa dilakukan sambil lalu. Mendengarkan musik, mendengarkan percakapan tetangga, mendengarkan radio dll.

Sedangkan mendengarkan yang satu lagi, yang dalam bahasa Inggrisnya ‘listening’ – dari kata dasar ‘listen’ merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan dengan perhatian penuh dan sungguh-sungguh.  Mendengarkan ceramah, mendengarkan kotbah, mendengarkan wejangan, mendengarkan curhat seorang teman dll.

Jadi, mendengarkan yang mana yang perlu anda lakukan, ketika istri atau suami anda mengajak anda berbicara tentang masa depan anak-anak ?

Mendengarkan yang mana yang perl anda lakukan ketika mendapati anak anda pulang sekolah dengan merengut atau menangis ?

Tentunya ‘mendengarkan’ yang ‘listening’.  Mendengarkan dengan penuh perhatian, sungguh-sungguh dan ditambah dengan empati.  Seringkali orang yang sedang menghadapi masalah akan merasa beban masalahnya sudah terangkat separuh ketika mendapati orang yang mau mendengarkan dengan penuh empati.  Cukup dengan mendengarkan !  Tidak perlu wejangan, nasehat,  apalagi aturan dan petunjuk.

Anak-anak akan merasa sangat dihargai apabila usulan atau pendapatnya ‘didengarkan’ dan ditanggapi dengan positif.  Meskipun belum tentu usulan dna pendapatnya diterima, tetapi ketika anak merasa sudah didengarkan dan ditanggapi, mereka akan merasa senang sekali.

Bayangkan perasaan anak-anak dalam percakapan ini :

Orangtua        : “Jadi kita kemana ya liburan ini ?”

Anak               : “Ke Bali yah … ke Bali…..”

Orangtua        : “ ga lah …. Kita ke Anyer aja ya kali ini ?”

Bandingkan dengan yang ini :

Orangtua        : “Jadi kita kemana ya liburan ini ?”

Anak               : “Ke Bali yah … ke Bali…..”

Orangtua        : “Hmm .. ke Bali ? memangnya kamu mau apa disana ?”

Anak               : “Aku mau berenang yah ….. di pantai Kuta kan asik banget tuh ….”

Orangtua        : “Ooooh … kamu mau berenang di pantai ya ?  Boleh, boleh … tetapi liburan lalu kan kita sudah pernah ke Bali, bagaimana kalau kali ini kita ke Anyer saja … disana kita juga bisa berenang, pantainya juga bagus kan ….lagipula lebih dekat ….ok ?”

Anak dalam percakapan kedua tidak akan merasa terlukai sekalipun usulannya tidak diterima.  Ia akan merasa gembira karena sekalipun usulannya tidak diterima, tapi usulannya didengarkan.  Anak juga akan diajak berpikir kreatif dan dinamis dalam mengemukakan pendapat.

Sedangkan dalam percakapan pertama, terkesan pertanyaan ayah pada anaknya sekedar basa-basi, apapun usulan anak, si ayah sudah punya 1 keputusan.  Sehingga anak akan merasa, untuk apa aku ditanya ?  Jika hal seperti ini terjadi berulang kali, lama kelamaan anak-anak akan enggan berpendapat dan akhirnya menjadi anak yang apatis, tidak kreatif dan tidak mampu mengutarakan pendapatnya.

Didalam alkitab, Yesus berulangkali meminta kita untuk ‘mendengarkan’ perkataan Nya, firman Nya, ajaran Nya.  Maka, mendengarkan yang mana yang akan kita gunakan untuk menanggapi permintaan Yesus ini ?

Luk 6:27 “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;

Luk 6:47 Setiap orang yang datang kepada-Ku dan mendengarkan perkataan-Ku serta melakukannya — Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan –,

Luk 8:21 Tetapi Ia menjawab mereka: “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.”

Luk 10:16 Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.”

Luk 11:28 Tetapi Ia berkata: “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya.”

Yoh 10:27 Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku,

Si Toing – Meruya, 19 Januari 2010

(Picture taken by Alfred. Speial thanks to romo Agi as model)


Come n join me @ dBC Network

May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Blog Stats

  • 32,648 hits

Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 5 other subscribers

Recent Comments

sitoingcantik on CATAMENIAL PNEUMOTHORAX
sitoingcantik on CATAMENIAL PNEUMOTHORAX
sitoingcantik on CATAMENIAL PNEUMOTHORAX
sitoingcantik on CATAMENIAL PNEUMOTHORAX
Andiswanda on CATAMENIAL PNEUMOTHORAX
WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.